Sabtu, 21 April 2012

Setangkai bunga


Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wib saatnya pulang kerja. Setelah seharian penat dengan segala aktivitas di kantor, akhirnya ada waktu juga untuk bersantai ria, dan sesuai jadwal yang telah ku rencanakan dari sebulan yang lalu akhirnya menujulah aku di sebuah toko yang dari jarak 100 meter sudah tercium bau wangi dan segernya. Yap, itu adalah toko bunga, langganan ku dari beberapa tahun terakhir ini. Ungkapan yang mengatakan “nyatakanlah segala sesuatu dengan bunga” mungkin memang ada benarnya. Setiap orang pasti mengenal bunga, mungkin juga ada yang suka dengan baunya, bentuk, warna ataupun makna yang tersimpan di dalam setangkai bunga. Aku sendiri lebih senang dengan bunga melati, selain bentuknya yang simple baunya juga harum. Sayangnya bunga melati tidak pernah dimasukkan menjadi rangkaian bunga tertentu. Dan di toko bunga ini pun tidak ada rangkaian untuk bunga melati. 

Beberapa meter sebelum aku sampai di toko bunga itu diseberang jalan dibelakang sebatang pohon ku lihat gadis kecil sedang termenung, terlihat pancaran kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Gadis kecil itu sedang memperhatikan toko bunga tersebut, entah apa yang terlintas dalam pikirannya, munngkin membayangkan enaknya punya toko bunga yang suasana di dalamnya selalu harum dan sejuk, hingga membawa kedamaian tersendiri di hati setiap orang yang mengunjunginya atau mungkin gadis kecil itu menginginkan rangkaian bunga di dalam toko tersebut. Lama ku perhatikan gadis kecil itu dengan rambut sebahu yang mulai kusut, seiring dengan bertambah sorenya hari ini, kaos warna merah berlengan pendek yang dipadu padankan dengan rok panjang warna hitam dan sandal jepit yang terlihat kusam. Hampir 15 menit berlalu, gadis kecil itu tidak juga beranjak pergi atau mendekati toko bunga, dia masih mematung di tempat semula aku dating. Karena penasaran maka ku perhatikan juga gadis kecil itu dari jauh. Menit bertambah menit tanpa ada perubahan apapun, akhirnya karena rasa penasaran yang semakin memuncak kuhampiri gadis kecil tersebut. Ku colek bahunya, sontak dia terkejut dan berbalik sambil menatap ku binggung. Ku bungkukkan badan hingga sejajar tingginya dengan gadis kecil tersebut “kenapa dari tadi berdiri sendirian disini” tanyaku. Dia hanya menunjuk ke toko bunga diseberang jalan. “kenapa dengan toko bunga itu” Tanya ku lagi. Sambil menunduk gadis kecil itu menjawab ”aku ingin membeli setangkai bunga, tapi uangku tidak cukup, tadi aku sudah mencoba menawarnya tapi tidak dikasih sama penjualnya” ucapnya pelan sambil terisak.
Tak tega hati ku mendengarnya. Ku pegang bahunya dan “ayo aku akan membelikannya untuk mu” kataku tegas. Gadis kecil itu kaget, tidak menyangka akan mendengar kata – kata seperti itu keluar dari mulut ku. “benar?” tanyanya. Aku hanya mengangukkan kepala. “benar, kau akan membelikannya untuk ku?” tanyanya lagi seakan tak percaya dengan kata – kata yang barusan dia dengar. “benarkah, aku boleh memilih bunga yang kusukai tanpa membayarnya sepeser pun?” sekali lagi kuanggukkan kepala ku.
Ku pegang tangan kecil itu dan kuajak malangkah menuju toko bunga. Setelah masuk ku biarkan dia memilih bunga yang disukainya, ku lihat dia berjalan mondar – mandir kesana kemari memilih bunga yang banyak jumlahnya. Aku sendiri segera memesan setangkai bunga yang rangkaiannya indah untuk ku kirimkan kepada seseorang. Setelah memilih rangkaian bunga dan menuliskan sebuah alamat lengkap dengan nomor telponnya, kepada penjaga toko aku segera ke kasir. Ku lihat gadis kecil itu sudah berdiri disampingku kembali di dekat kasir dengan setangkai bunga mawar merah dan putih yang indah. “Pintar juga dia memilih bunga”ucapku dalam hati.
Selesai membayar harga bunga. Kami berdua keluar, iseng ku tanya ”bunga itu untuk siapa?” “untuk Ibuku” katanya mantap. “terima kasih telah membelikanku bunga yang indah ini, aku sudah lama berjanji pada Ibuku akan membelikan bunga ini di hari ulang tahunnya, dan hari ini adalah hari ulang tahunnya, aku sudah berusaha mendapatkan uang lebih beberapa minggu ini tapi selalu saja ada keperluan sehingga aku harus menggunakan uang tersebut” jelasnya panjang lebar, seakan ingin menumpahkan semua yang dia rasakan akhir – akhir ini. Gadis yang menurut perkiraanku berumur 5 tahun itu sekarang terlihat bahagia, senyum mengembang di wajahnya yang lebih terlihat manis jika sedang bahagia.
“Bolehkah aku ikut ke rumahmu” iseng aku bertanya. Tak tahu kenapa rasa penasaran ku muncul kembali, seorang gadis kecil berusaha mendapatkan uang sendiri untuk membelikan setangkai bunga di hari ulang tahun Ibunya, dan keperluan yang mengharuskan gadis kecil itu mempergunakan uangnya. Kata – katanya jelas masih tergiang di telinga ku. Tapi aku tidak akan mengusik kebahagiaannya sore ini dengan rasa penasaran ku. Biarlah mungkin aku akan tahu suatu saat nanti. “Boleh, tapi sebelumnya mampir dulu ke tempat Ibu ku ya, dekat kok dari sini hanya 200 meter” katanya masih dengan mata yang ber binar – binar. “Gadis ini tidak tinggal serumah dengan Ibunya?”kata ku dalam hati, satu lagi keanehan disini, membuatku semakin tidak mengerti keadaan gadis kecil ini yang sebenarnya.
Sore ini akan menjadi cerita tersendiri buatku, sore selalu membawa kesan tersendiri buatku. Saat matahari mulai memasuki peraduannya, langit yang cerah berwarna jingga dan hawa yang sejuk seakan mendukung suasana sore ini. Berdua kami berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai sepi. Larut dalam pikiran masing – masing. Akhirnya sampailah kami disebuah tempat pemakaman umum yang tidak terlalu luas. Aku masih berfikir, “mungkinkah rumah gadis kecil ini ada di samping atau dibelakang pemakaman umum ini?” Tapi tak ku lihat ada rumah disekitar sini, yang ada hanyalah pemakaman dan di samping kanan kirinya hanya ada pohon kamboja dengan bunganya yang lebat.
“kita sudah sampai” kata gadis kecil itu tepat di depan pintu gapura pemakaman. Sontak aku terkejut “dimana sebenarnya gadis kecil ini tinggal?” batin ku. “Dimana?, mana Ibumu yang sedang berulang tahun, dimana rumahmu?“ ku berondong dia dengan berbagai macam pertanyaan yang dari tadi bergelayut di benak ku. Gadis kecil itu hanya tersenyum melihat raut muka ku yang berganti – ganti warna.  “Ibu ku tinggal disini kakak, di pemakaman ini. Beliau sudah meninggal 1 tahun yang lalu, dan hari ini adalah tepat hari ulang tahunnya. Kalau aku tinggal dengan nenek di ujung jalan ini” jelasnya panjang lebar seakan tahu apa yang ku pikirkan. “Itu makamnya disebelah kanan jalan itu nomor 3 dari yang paling ujung” katanya serara berlari menuju makam yang dia tunjuk tadi, berlari dengan senangnya seolah – olah dia benar – benar bertemu dengan Ibu yang sudah lama tidak dijumpainya. Ku biarkan dia dengan suasana hati yang sedang bahagia. Aku tetap berdiri di depan gapura pemakaman tanpa beranjak dari tempat ku berdiri.
Tiba – tiba aku teringat sesuatu, cepat – cepat aku berbalik arah menuju toko bunga langgananku. Semakin lama semakin ku percepat langkahku, seakan di kejar waktu. Yah, aku telah belajar satu hal sore ini, dari seorang gadis kecil yang sampai saat ini tak ku kenal namanya. Bunga pesanan yang ku minta di kirim ke alamat seseorang di toko bunga tersebut, sebenarnya ku alamatkan ke Ibu ku sendiri yang rumahnya hanya berjarak 3 km dari rumah yang ku kontrak karena lebih dekat dengan tempat kerjaku. Aku tahu sekarang kalau jarak seharusnya tidak membatasi seseorang untuk bersilaturrahmi, terutama dengan orang tuanya sendiri, apalagi kita masih tinggal di dunia yang sama, apa jadinya jika kita sudah berada di tempat yang berbeda, tentu akan sulit untuk bertemu. “Aku sayang Ibu’ ucapku dalam hati.

Jumat, 13 April 2012

Ampo

Hujan sore ini, mengingatkan ku pada 9 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari ba'da ashar hujan deras turun setelah sebelumnya di dahului suara geledek yang keras dan bersahut - sahutan, alhamdulillah kita semua sudah sampai di rumah. Yah, tinggal di gubuk kecil ini ada sesuatu yang membuat aku nyaman, bukan karena barang - barang yang sederhana saja, tapi lebih karena suasana yang enak, ada seorang ibu yang sangat baik hati, sabar dan penyayang tinggal disini. Ibu memang sudah tua, terlihat dari garis - garis kerutan di sekitar wajahnya, namun sinar kecantikan masih jelas terlihat di sana.
"Bau ampo" Ibu bilang, "bau apa itu?" sahutku yang memang tidak tahu apa itu 'ampo', kata asing  itu baru sekali ini terdengar di telinga ku. "Ampo itu bau tanah yang terkena hujan, setelah lama tidak pernah tersiram air hujan, coba perhatikan nanti kalau sudah lama tidak hujan dan siramlah tanah itu dengan air biasa, pasti akan beda baunya, ibu senang bau ini, seger dan gimana gitu......" jelas Ibu panjang lebar. Aku tahu sekarang apa itu "ampo".
Tiba - tiba saja si 'unyil' sudah nongol di tengah - tengah kami berdua. Dia adalah adik ku yang paling ku sayang, beda usia kami tidak jauh, hanya terpaut 2 tahun. 'Unyil' adalah penggilan kesayangan ku, walaupun itu bukan nama dia yang sesungguhnya, namun kayaknya si unyil juga tidak keberatan, malah terlihat senang. Unyil kelihatan juga ingin menikmati hujan sore itu. Akhirnya kami bertiga, Ibu, aku dan si unyil duduk menikmati hujan lewat jendela rumah. Yah, jendela rumah itu menjadi tempat nongkrong favorit kami bertiga saat hujan turun.
Yah, hujan selalu membawa cerita tersendiri, kami jadi bisa saling bercerita tentang apa saja, sekedar guyon atau hanya menyeruput segelas teh hangat ditemani pisang goreng yang mak yus, tentu saja buatan Ibu.
Tapi itu semua sudah berlalu semenjak Ibu meninggal 9 tahun yang lalu karena tumor ganas. Saat yang menyedihkan dan memilukan dalam hidup ku. Semua sudah berusaha, kesana kemari mencari pengobatan, baik lewat pengobatan tradisional maupun lewat medis, tapi apalah daya Allah berkehendak lain.
Sore ini untuk yang ketiga kalinya dalam minggu ini aku menikmati hujan sendirian. "Bau ampo" ucapku dalam hati.